Gelar
Sarjana untuk
Ayah
Sang fajar masih saja malu-malu menyapa pagi. Cuaca pagi
yang dingin makin menusuk relung-relung tulang secara perlahan, mata
masih saja terpejam dalam hening membayang. Tidak, bagi laki-laki
setengah baya itu, ia lebih dahulu menyambut dunia pagi dengan
sumringah. Menyapa
embun-embun pagi diribuan dedaunan miliknya. Sebut saja Sumadi. Ia
lahir 17 Febuari 1960 di Kulon Progo. Usianya kini
sudah menginjak 53 tahun. Sejak masih
remaja ia anak yang pekerja keras, mandiri, dan santun. Pada
masa-masa itu ia pernah meninggalkan kampung halamannya untuk
merantau ke Sumatra. Kini ia sebagai jembatan penopang hidup bagi
istri dan anak-anaknya.
Ia menamatkan jenjang pendidikan di SD Muhammadiyah
Degan pada tahun 1973, SMP Muhammadiyah Dekso pada tahun 1977, SMEA
Dekso pada tahun 1981, Sarjana Muda Universitas Taman Siswa
Yogyakarta pada tahun 1985 , dan S-1
IKIP PGRI Wates pada tahun 2011. Sang
fajar tak malu lagi memperlihatkan senyumannya pagi itu. Sebelum ia
bergegas bekerja, mesin tuoyang
kini menjadi teman suka duka berkendara, ia perlihatkan pada dunia
pagi itu. Mesin tuo
yang sering ngadat di
jalan, sering kali memberikan sapaan istimewa.Ngebul
seringkali jadi santapan pagi ketika
mesin tuo itu
dipanaskan. Suara mesin tuo
yang bising menyambut keberangkatan pemiliknya. Jalanan terjal,
berliku-liku, naik turun bukit bersanding dengan himpitan lereng dan
jurang. Berhadapan dengan maut, bukanlah pilihan. Namun apa daya,
mesin tuo yang
seharusnya dipensiunkan, kini masih saja setia menemani pemiliknya.
Sepatu tuoyang hampir
puluhan tahun ia kenakan kadang menjadi remcadangan.
Hingga terukir sebuah lukisan tangis pada alas sepatu
tuoyang dikenakannya itu. Terik matahari,
hujan badai ia tetap seberangi
tanpa rasa takut di dalam dirinya demi secanting
beras untuk anak dan istri di rumah.
Masih saja laki-laki setengah baya itu dipersulit
pemerintah. Ia kini masih harus melanjutkan pendidikan S-1
sebagai guru profesional. Ia seharusnya ngayun-ngayun
kaki di rumah, menikmati masa-masa tua bersama keluarga dan sanak
saudara. Namun, ia lewati masa-masa itu dengan segumpelaktivitas
dan tumpukan kertas-kertas tua di hadapannya. Berbulan-bulan ia masih
saja bersanding, menatap, dan berkeluh kesah dengan setumpuk kertas
tua yang berserakan. Mencoba merangkai kata demi kata, kalimat demi
kalimat, paragraf demi paragraf setiap harinya. Direwangi
isuk, awan, sore molak malik kertas saben
dina. Berkat kerja keras, berusaha, berdoa,
dan selalu meminta kemudahan pada Allah, ia mampu menyelesaikan
skripsi yang akan diajukan kepada pembimbing.
Memberanikan diri. Menghadap penguji dengan anteng,
ayem, dan sumringah.Laki-laki
tua berpakaian rapi dengan rambut putih, bertubuh gendut, yang
menggengam tinta hitam dengan erat kini perlahan-lahan menatap tajam
pada skripsi yang diletakkan di atas meja penguji.
Sretttt… tinta hitam penguji
dengan kilat menodai kertas putih pada susunan kata-kata yang ia
rangkai berbulan-bulan. Ia kecewa, marah, dan sempat putus asa. Tapi
tidak berangsur lama. Ia kembali… duduk di depan tumpukan kertas
tuo untuk membenahi skripsi
yang sempat terbengkalai. Senja kini mulai menyapa, ia masih saja
duduk anteng dengan
susunan skripsinya. Senja telah berpamitan. Malam semakin larut, tapi
ia tetap saja masih dihadapan kertas tuo. Mata sayup, wajah pucat,
puluhan kertas berserakan.
Diajukannya kembali skripsi itu pada pembimbing.
Wajah yang setengah sumringah
itu mulai berdebar-debar, takut mendapatkan coretan tinta hitam lagi
darinya.
Lagi-lagi
dan lagi masih saja salah di mata tajamnya.
Kecewa dan putus asa kini ia alami ke
sekian kalinya. Ia mulai jenuh. Namun ia
tetap berusaha dan mencoba kembali. Nampaknya pepohonan mulai bosan
melihat ia berlalu lalang
setiap hari, meja yang kerap kali ia letakkan skripsinya kini mulai
kesal, setiap waktu tak bosan-bosannya melekat pada dirinya. Kini
ia mulai kembali meletakkan di atas meja. Semakin hari pembimbing
itu tampak kaku. Mungkin akan kembali ada coretan hitam, terbesit
dalam pikiran sebab kerap kali ia alami. Namun,
tak sama sekali pembimbing
itu meneteskan coretan hitam pada skripsi yang ada di hadapannya.
Kini skripsi yang ia buat hingga menguras tenaga dan pikiran
itu diterima. Kini ia akan berjuang kembali melewati tahap pendadaran
danmelengkapi goresan tinta hitam di skripsinya dari beberapa penguji
sebagai penyempurna. Kerap kali goresan tinta hitam itu seperti
mencari jarum di dalam jerami. Goresan tinta hitam telah sempurna. Ia
dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan.
Sumringah terpancar di
wajahnya. Toga dan jubah hitam ia kenakan dengan gagah. Ia
dikalungkan medali dan diselempangkan toga penuh wibawa. Kini ia
mendapat ijazah dengan gelar Sarjana Pendidikan.
Heti Nur Khasanah lahir di Kota Bumi, 23 Januari 1994.
Ia berusia 19 tahun. Ia anak ke dua dari empat bersaudara. Ia tinggal
di Degan II Banjararum, Kalibawang, Kulon Progo. Tahun 2006 lulus
dari SD Muhammadiyah Degan, tahun 2009 lulus dari SMP Muhammadiyah 1
Kalibawang, tahun 2012 lulus dari MAN 1 Kalibawang. Ia melanjutkan
jenjang Perguruan Tinggi di Universitas Ahmad Dahlan, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia. Ia pernah memperoleh Gelar Dokter Kecil pada tahun2006.
Motto hidup “ satu
detik berlalu adalah jutaan ilmu”.Cp
:083869083001, Twitter :@hetinurkhasanah, facebook :
Hety Nur Khasanah/heti,nurkhasanah@yahoo.com, e-mail:
heti.nurkhasanah@yahoo.com. Moto hidup “Satu detik
berlalu adalah jutaan ilmu”.
CP:
083869083001, Twitter :@hetinurkhasanah, facebook : Hety Nur
Khasanah/heti,nurkhasanah@yahoo.com, e-mail:
heti.nurkhasanah@yahoo.com
Tiada ulasan:
Catat Ulasan