Selasa, 25 Jun 2013

esai biografi



Gelar Sarjana untuk Ayah
Sang fajar masih saja malu-malu menyapa pagi. Cuaca pagi yang dingin makin menusuk relung-relung tulang secara perlahan, mata masih saja terpejam dalam hening membayang. Tidak, bagi laki-laki setengah baya itu, ia lebih dahulu menyambut dunia pagi dengan sumringah. Menyapa embun-embun pagi diribuan dedaunan miliknya. Sebut saja Sumadi. Ia lahir 17 Febuari 1960 di Kulon Progo. Usianya kini sudah menginjak 53 tahun. Sejak masih remaja ia anak yang pekerja keras, mandiri, dan santun. Pada masa-masa itu ia pernah meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Sumatra. Kini ia sebagai jembatan penopang hidup bagi istri dan anak-anaknya.
Ia menamatkan jenjang pendidikan di SD Muhammadiyah Degan pada tahun 1973, SMP Muhammadiyah Dekso pada tahun 1977, SMEA Dekso pada tahun 1981, Sarjana Muda Universitas Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1985 , dan S-1 IKIP PGRI Wates pada tahun 2011. Sang fajar tak malu lagi memperlihatkan senyumannya pagi itu. Sebelum ia bergegas bekerja, mesin tuoyang kini menjadi teman suka duka berkendara, ia perlihatkan pada dunia pagi itu. Mesin tuo yang sering ngadat di jalan, sering kali memberikan sapaan istimewa.Ngebul seringkali jadi santapan pagi ketika mesin tuo itu dipanaskan. Suara mesin tuo yang bising menyambut keberangkatan pemiliknya. Jalanan terjal, berliku-liku, naik turun bukit bersanding dengan himpitan lereng dan jurang. Berhadapan dengan maut, bukanlah pilihan. Namun apa daya, mesin tuo yang seharusnya dipensiunkan, kini masih saja setia menemani pemiliknya. Sepatu tuoyang hampir puluhan tahun ia kenakan kadang menjadi remcadangan. Hingga terukir sebuah lukisan tangis pada alas sepatu tuoyang dikenakannya itu. Terik matahari, hujan badai ia tetap seberangi tanpa rasa takut di dalam dirinya demi secanting beras untuk anak dan istri di rumah.
Masih saja laki-laki setengah baya itu dipersulit pemerintah. Ia kini masih harus melanjutkan pendidikan S-1 sebagai guru profesional. Ia seharusnya ngayun-ngayun kaki di rumah, menikmati masa-masa tua bersama keluarga dan sanak saudara. Namun, ia lewati masa-masa itu dengan segumpelaktivitas dan tumpukan kertas-kertas tua di hadapannya. Berbulan-bulan ia masih saja bersanding, menatap, dan berkeluh kesah dengan setumpuk kertas tua yang berserakan. Mencoba merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf setiap harinya. Direwangi isuk, awan, sore molak malik kertas saben dina. Berkat kerja keras, berusaha, berdoa, dan selalu meminta kemudahan pada Allah, ia mampu menyelesaikan skripsi yang akan diajukan kepada pembimbing.
Memberanikan diri. Menghadap penguji dengan anteng, ayem, dan sumringah.Laki-laki tua berpakaian rapi dengan rambut putih, bertubuh gendut, yang menggengam tinta hitam dengan erat kini perlahan-lahan menatap tajam pada skripsi yang diletakkan di atas meja penguji. Sretttt… tinta hitam penguji dengan kilat menodai kertas putih pada susunan kata-kata yang ia rangkai berbulan-bulan. Ia kecewa, marah, dan sempat putus asa. Tapi tidak berangsur lama. Ia kembali… duduk di depan tumpukan kertas tuo untuk membenahi skripsi yang sempat terbengkalai. Senja kini mulai menyapa, ia masih saja duduk anteng dengan susunan skripsinya. Senja telah berpamitan. Malam semakin larut, tapi ia tetap saja masih dihadapan kertas tuo. Mata sayup, wajah pucat, puluhan kertas berserakan.
Diajukannya kembali skripsi itu pada pembimbing. Wajah yang setengah sumringah itu mulai berdebar-debar, takut mendapatkan coretan tinta hitam lagi darinya. Lagi-lagi dan lagi masih saja salah di mata tajamnya. Kecewa dan putus asa kini ia alami ke sekian kalinya. Ia mulai jenuh. Namun ia tetap berusaha dan mencoba kembali. Nampaknya pepohonan mulai bosan melihat ia berlalu lalang setiap hari, meja yang kerap kali ia letakkan skripsinya kini mulai kesal, setiap waktu tak bosan-bosannya melekat pada dirinya. Kini ia mulai kembali meletakkan di atas meja. Semakin hari pembimbing itu tampak kaku. Mungkin akan kembali ada coretan hitam, terbesit dalam pikiran sebab kerap kali ia alami. Namun, tak sama sekali pembimbing itu meneteskan coretan hitam pada skripsi yang ada di hadapannya. Kini skripsi yang ia buat hingga menguras tenaga dan pikiran itu diterima. Kini ia akan berjuang kembali melewati tahap pendadaran danmelengkapi goresan tinta hitam di skripsinya dari beberapa penguji sebagai penyempurna. Kerap kali goresan tinta hitam itu seperti mencari jarum di dalam jerami. Goresan tinta hitam telah sempurna. Ia dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan.
Sumringah terpancar di wajahnya. Toga dan jubah hitam ia kenakan dengan gagah. Ia dikalungkan medali dan diselempangkan toga penuh wibawa. Kini ia mendapat ijazah dengan gelar Sarjana Pendidikan.







Heti Nur Khasanah lahir di Kota Bumi, 23 Januari 1994. Ia berusia 19 tahun. Ia anak ke dua dari empat bersaudara. Ia tinggal di Degan II Banjararum, Kalibawang, Kulon Progo. Tahun 2006 lulus dari SD Muhammadiyah Degan, tahun 2009 lulus dari SMP Muhammadiyah 1 Kalibawang, tahun 2012 lulus dari MAN 1 Kalibawang. Ia melanjutkan jenjang Perguruan Tinggi di Universitas Ahmad Dahlan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia pernah memperoleh Gelar Dokter Kecil pada tahun2006. Motto hidup “ satu detik berlalu adalah jutaan ilmu”.Cp :083869083001, Twitter :@hetinurkhasanah, facebook : Hety Nur Khasanah/heti,nurkhasanah@yahoo.com, e-mail: heti.nurkhasanah@yahoo.com. Moto hidup “Satu detik berlalu adalah jutaan ilmu”.
CP: 083869083001, Twitter :@hetinurkhasanah, facebook : Hety Nur Khasanah/heti,nurkhasanah@yahoo.com, e-mail: heti.nurkhasanah@yahoo.com

Tiada ulasan:

Catat Ulasan